1.1.
Aktivitas
Fisik Pada Pasien Skizofrenia
Seperti
yang telah disampaikan diatas, bahwa aktivitas fisik memiliki keuntungan
terhadap kesehatan fisik. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa aktivitas
fisik pada pasien skizofrenia, selain meningkatkan kesehatan fisik juga
meningkatkan kesehatan jiwa.Sistematik review yang dilakukan olehFaulker pada
tahun 2012 yang bertujuan untuk mencari bukti hubungan antara aktivitas fisik
dengan kesehatan jiwa pada pasien skizofrenia, menunjukkan bahwa aktivitas
fisik yang diberikan pada pasien skizofrenia dapat mengurangi gejala
skizofrenia terutama gejala negatif dimana diantaranya depresi, tingkat
kepercayaan diri yang rendah, dan penarikan diri dari sosial (Faulkner et al. 2013).
Acil
pada tahun 2008, melakukan studi program aktivitas fisik pada pasien
skizofrenia selama 10 minggu, dengan frekuensi 3 sesi dalam satu minggu, setiap
sesi berdurasi sekitar 40 menit. Hasilnya didapatkan bahwa terjadi pengurangan
secara signifikan gejala negatif dan positif pada pasien yang dinilai dengan
menggunakan Scale for the Assessment of
Negative Symptoms, Scale for the
Assessment of Positive Symptoms, dan Brief
Symptom Inventory. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok terapi dalam hal
peningkatan Quality of Life yang
dinilai menggunakan World Health
Organization Quality of Life Scale-Turkish Version(Acil & Dogan 2008).
Studi
yang dilakukan oleh Marzolini, Jensen, dan Melville pada 2009, mengkombinasikan
antara aktivitas fisik yang bersifat ketahanan dan kekuatan pada pasien
skizofrenia. Pada studi ini, pasien secara random dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok dengan kombinasi aktivitas fisik ketahanan dan kekuatan dengan
kelompok “terapi seperti biasa”, kelompok dengan kombinasi aktivitas fisik
ketahanan dan kekuatan mendapatkan latihan sebanyak 2 sesi dalam satu minggu
selama 12 minggu, dimana setiap sesinya selama 90 menit. Aktivitas fisik
dipimpin oleh dokter rehabilitasi medik, dilakukan aktivitas streching, pemanasan, kekuatan,
ketahanan, dan pendinginan. Hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan adanya
perubahan antara kelompok yang melakukan aktivitas fisik kombinasi dengan
kelompok yang “terapi seperti biasa”, pada pasien kelompok terapi kombinasi
terjadi perbaikan terhadap depresi, gejala positif, dan ansietas dibanding
kelompok “terapi seperti biasa”, tetapi sayangnya pada penelitian ini tidak
signifikan secara statistik (Clow & Edmunds 2014).
Beberapa
penelitian di India melakukan perbandingan antara yoga dengan aktivitas fisik
yang bersifat ketahanan dan kelenturan. Didapatkan bahwa kedua kelompok
mengalami perbaikan terhadap gejala skizofrenia, tetapi peningkatan tertinggi
terdapat pada pasien dengan aktivitas yoga. Penelitian yang dilakukan oleh
Duraiswamy pada tahun 2007 contohnya, didapatkan bahwa pasien yang melakukan
yoga 5 kali selama 1 jam dalam satu minggu selama 3 bulan memiliki jumlah skor
PANSS yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (Clow & Edmunds 2014).
Penelitian
terbaru yang dilakukan oleh Scheewee pada tahun 2013 masih merupakan penelitian
tentang pengaruh aktivitas fisik terhadap kesehatan fisik dan mental yang
memiliki subjek terbanyak, yaitu 63 pasien dengan parameter yang dinilai
terbanyak, baik dari segi kesehatan jiwa dan kesehatan fisik. Penelitian ini
membagi pasien skizofrenia menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan terapi
okupasi dan kelompok dengan terapi olahraga. Pasien pada kelompok aktivitas
fisik, akan melakukan latihan selama satu jam, sebanyak dua kali seminggu,
selama enam bulan. Sedangkan pasien pada kelompok terapi okupasi, akan
melakukan kegiatan terapi okupasional berupa melukis, membaca, dan aktivitas
komputer. Pasien okupasi diperbolehkan melakukan aktivitas fisik 60 menit dalam
satu minggu. Setelah dilakukan follow up selama 6 bulan, didapatkan bahwa terapi
olahraga selama satu hingga dua jam selama seminggu terbukti meningkatkan
kesehatan mental, ketahanan kardiovaskular, dan menurunkan tingkat kebutuhan
perawat pada pasien skizofrenia dan terapi olahraga baik dijadikan sebagai
terapi tambahan pada pasien dengan skizofrenia(Tw et al. 2013).
1.2.
Mekanisme
Aktivitas Fisik Terhadap Gejala Skizofrenia
Bagaimana
mekanisme aktivitas fisik dalam menurunkan gejala positif dan negatif pada
pasien skizofrenia masih belum dimengerti secara sepenuhnya (Tw et al. 2013).
Aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit sebanyak 3 kali dalam seminggu
selama 12 minggu pada pasien skizofrenia, terbukti meningkatkan plastisitas
hipokampus. Plastisitas hipokampus ini terjadi karena meningkatnya peredaran
darah menuju dan dari hipokampus dan meningkatnya growth factor. Efek ini diduga dapat meningkatkan neurogenesis dan
angiogenesis daerah hipokampus pada pasien skizofrenia(Pajonk et al. 2010).
Pada depresi, diduga aktivitas fisik berperan pada perubahan fisiologis
dari neurotransmiter(Tw et al. 2013), systematic review yang dilakukan oleh
Romain dan Kenny terhadap 20 literatur yang melakukan penelitian pengaruh
aktivitas fisik terhadap perubahan neurotransmiter otak pada hewan uji mencit
dan/ atau tikus mendapatkan hasil bahwa(Meeusen & De Meirler 2009) :
1. Studi
yang memeriksa level dari noradrenalin pada seluruh bagian otak setelah episode
aktivitas fisik akut seperti lari atau berenang, mendapatkan hasil bawha
terjadi penurunan signifikan dari level neradrenalin. Peningkatan
neuroadrenalin terjadi jika aktivitas fisik dilakukan secara kronik. Beberapa
studi lain yang memeriksa level noradrenalin berdasarkan lokasi spesifik dari
otak mendapatkan bahwa, aktivitas fisik akut yang dilakukan akan menyebabkan
penurunan level noradrenalin pada: batang otak, hippocampus, pons-medula, otak
tengah, dan hipotalamus.
2. Studi
yang memeriksa level dopamin pada otak terhadap aktivitas fisik mendapatkan
hasil bahwa pada subjek yang tidak terlatih melakukan aktivitas fisik, lalu
melakukan aktivitas fisik selama 8 minggu, berpengaruh terhadap penurunan level
dopamin. Sedangkan pada subjek yang telah terlatih, terjadi peningkatan
metabolisme dopamin pada daerah hipotalamus otak.
3. Studi
yang memeriksa level serotonin pada otak terhadap aktivitas fisik yang
berjangka akut (berenang selama 1 jam) dan kronik (berenang selama 1 jam, 6
kali dalam satu minggu, selama 4 minggu) menunjukkan adanya peningkatan sintesis
dan metabolisme dari serotonin pada daerah batang otak, hipotalamus, dan
hippokampus.
1.3.
Penerapan
Latihan Fisik
Pelatihan
fisik adalah suatu usaha atau proses yang sistematik terhadap organ atau alat
tubuh yang dilakukan berulang-ulang dengan penambahan beban pelatihan dan
pekerjaannya secara progresif dan fungsinya yang bertujuan untuk mengoptimalkan
penampilan dan kinerja. Prinsip pelatihan fisik adalah suatu petunjuk dan
peraturan yang sistematik, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara
progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan. (Rarick 1980).
Pelatihan fisik merupakan suatu
aktivitas komplek, suatu kinerja yang dilakukan secara sistematik dalam durasi
yang panjang, progresif dan berjenjang, tujuan yang akan dicapai dari pelatihan
fisik, yaitu meningkatkan potensi fisik serta meningkatkan kemampuan biomotor
agar mencapai hasil yang maksimal(Bompa & Gregory 2009).
Pelatihan fisik merupakan suatu
gerakan fisik dan atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematik dan
berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu (durasi) yang lama, dengan
pembebanan yang meningkat secara progresif (bertahap) dan individual, dengan
tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologis dan psikologis tubuh
agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang
optimal (Boreham et al. 2006).
Belum
ada tinjauan pustaka yang memberikan syarat atau ketentuan secara pasti pasien
skizofrenia dengan kondisi bagaimana yang boleh melakukan latihan fisik, tetapi
dari beberapa penelitian terdapat beberapa kriteria inklusi dalam memasukan
subjek penelitian dalam suatu kelompok terapi olahraga, diantaranya penelitian
yang dilakukan oleh Scheewe pada tahun
2013 : 1. Subjek penelitian merupakan pasien skizofrenia sesuai dengan
kriteria DSM IV, 2. Pasien stabil, kooperatif, dan telah mengkonsumsi obat anti
psikotik selama minimal 4 minggu, 3. Tidak ada penyakit lain yang menyertai
pada pasien, 4. Tidak memiliki ketergantungan dengan alkohol atau penyalah
gunaan obat, 5. IQ > 70, dan 6. Tidak memiliki riwayat atau menderita
penyakit kardiovaskuler(Tw et al. 2013).
Pelatihan fisik yang akan diterapkan
pada referat ini adalah pelatihan senam ayo bergerak Indonesia. Senam dipilih
karena pada setiap ruangan rawat inap di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto
telah terdapat alokasi waktu olah raga pada pukul 08.00 hingga 09.00. Senam
memberikan stres fisik terhadap tubuh secara teratur, sistematik,
berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan di dalam
melakukan kerja secara teratur atau meningkatkan kebugaran fisik secara nyata(Sylvia 2013).
Senam memiliki volume 7 MET/menit saat memasuki fase latihan inti, pada senam
ayo bergerak Indonesia latihan inti berlangsung selama 20 menit, jika dilakukan
sebanyak 4 kali dalam satu minggu maka aktivitas ini telah memenuhi volume
target METS menurut ACSM untuk meningkatkan kesehatan fisik(Edwing et al. 2011).
Senam terdiri dari pemanasan, latihan inti, dan pendinginan. Pemanasan
merupakan upaya tubuh untuk menyesuaikan diri dengan peningkatan sirkulasi
secara bertahap serta meminimalkan kekurangan oksigen dan pembentukan asam
laktat. Latihan inti bertujuan untuk meningkatkan denyut jantung dan masuk ke
dalam zona latihan, menggerakan seluruh otot, tulang dan persendian tubuh untuk
mencapai kebugaran fisik yang diinginkan. Pendinginan berguna untuk memulihkan
dan melemaskan otot-otot yang digunakan dalam latihan dan mengeluarkan sisa
pembakaran (Kusmana 2007).
Senam Ayo Bergerak termasuk senam
aerobik low impact dan banyak
melibatkan anggota gerak tubuh dan persendian . Senam ini mengandung gerakan
inti yang banyak memuat variasi teknik bela diri khas berbagai daerah, di mana
gerakan-gerakan tersebut meningkatkan pelatihan kekuatan, kontraksi otot dan
persendian. Banyak kontraksi otot yang terjadi, dan setiap gerakan memiliki
variasi yang bertumpu pada berbagai otot tubuh, yaitu pada otot tangan, otot
kaki, otot dada, perut, tungkai kaki dan punggung. Hal ini selain memberi
keuntungan pada kekuatan otot, juga akan memberi keuntungan pada jantung dan
paru. Otot jantung akan bertambah kuat sehingga dapat memompa d arah lebih
banyak, curah jantung meningkat sehingga dapat berdenyut lebih banyak. Di
samping itu peningkatan suplai darah ke jantung semakin sempurna dengan
berkembangnya pembuluh darah baru pada jantung sehingga jantung mendapat lebih
banyak oksigen dan mengakibatkan fisik tidak mudah lelah(Sylvia 2013).
Senam
Ayo Bergerak merupakan senam kebugaran fisik yang dirumuskan oleh Federasi
Olahraga Masyarakat Indonesia (FORMI) dan baru dirilis pada akhir tahun 2012.
Sekarang Senam Ayo Bergerak sedang disosialisasikan ke berbagai instansi
pendidikan, pemerintah, swasta, organisasi masyarakat dan segenap masyarakat
Indonesia yang menyukai senam. Senam ini diciptakan dan dikemas dengan
memadukan gerakan otot yang kuat, kencang, lincah dan melibatkan pergerakan
otot-otot besar dan ruang lingkup persendian yang cukup luas dengan tujuan
mengoptimalkan peningkatan kebugaran fisik(Sylvia 2013).
Comments
Post a Comment